Sabtu, 31 Desember 2011

RBT dan Runtuhnya Kreativitas Industri Musik Indonesia

Bulan Oktober lalu, saat kasus sedot pulsa mendera, muncul desas-desus bahwa layanan RBT di Indonesia akan dihentikan. Para insan musik di Tanah Air pun gusar.
Alasannya, sebagaimana dikatakan Giring Nidji, 80 persen pendapatan industri musik Indonesia ternyata berasal dari layanan nada sambung pribadi (RBT).
Musisi Indonesia kemudian mengadakan konferensi pers dadakan mengenai masalah ini pada Senin (17/10) sore. Termasuk di dalamnya ada Rossa, Melly Goeslaw, Maia Estianty, Badai Kerispatih, Bimbim Slank dan Anjie Drive.
Mereka semua — mengatasnamakan musisi Indonesia — menganggap seakan-akan penghentian layanan RBT merupakan hari kematian industri musik Indonesia. Ketika saya mendengarkan orasi mereka, bagaimana mereka mengagung-agungkan RBT sebagai sumber utama pendapatan mereka, saya jadi terenyuh.
Ada yang salah di sini. Para musisi itu seolah menjadikan RBT sebagai tulang punggung. Pada awalnya, RBT diciptakan hanya sebagai fitur tambahan. Itu pun bukan bagi industri musik, melainkan bagi para pengguna telepon seluler.
Para pelaku indutri rekaman di Indonesia mengeluh, semenjak kasus sedot pulsa, pendapatan mereka dari RBT menyusut tajam. Jika biasanya bisa memberikan pemasukan hingga 90 persen kepada industri musik, per Oktober hingga Desember disebutkan tidak mencapai 10 persen.
Sebenarnya industri musik — yang katanya berisi orang-orang kreatif — tidak perlu mengeluh. Kejadian seperti ini membuktikan bahwa memang "para orang kreatif ini" hanya bergantung dari RBT. Dari sebuah alunan musik yang tidak sampai 30 detik terdengar, dengan kualitas suara yang seadanya. Pantaslah jika lagu-lagu yang ditelurkan para musisi Indonesia sekarang jauh dari memuaskan.
Selama ini beberapa artis mengeluhkan pembajakan yang menyebabkan album fisik mereka tidak laku. Saya sempat mewawancarai beberapa musisi internasional, misalnya Alice Cooper, Mike Posner dan Chuck D dari Public Enemy, dan mereka sama sekali tidak peduli dengan pembajakan.
Yang mereka pedulikan hanyalah membuat karya musik sebagus mungkin, menarik minat fans sebanyak mungkin, karena fans yang sebenarnya pasti akan membeli album fisik mereka.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa musisi Indonesia adalah korban dari ketamakan industri musik. Mereka tidak sadar bahwa karier bermusik mereka dihargai sebatas mengejar setoran para label rekaman.
Kualitas musik rela diturunkan demi menyesuaikan diri dengan selera pasar, agar laku di pasaran, lagi-lagi untuk kejar setoran. Untuk apa mereka membuat lagu yang bagus jika hanya akan didengarkan dengan kualitas rendah melalui RBT?

dikuti dari :
http://id.yearinreview.yahoo.com

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons